PERMASALAHAN PEKERJA MIGRAN: PERSPEKTIF PEKERJAAN SOSIAL
Oleh: Edi Suharto, Ph.D
While humanity shares one planet, it is a planet on which there are two worlds, the world of the rich and the world of the poor. Raanan Weitz Most people wish for riches, but few people provide the definite plan and burning desire which pave the road to wealth. Napoleon Hill Per definisi, pekerja migran adalah orang yang bermigrasi dari wilayah kelahirannya ke tempat lain dan kemudian bekerja di tempat yang baru tersebut dalam jangka waktu relatif menetap. Pekerja migran mencakup sedikitnya dua tipe: pekerja migran internal dan pekerja migran internasional. Pekerja migran internal berkaitan dengan urbanisasi, sedangkan pekerja migran internasional tidak dapat dipisahkan dari globalisasi.
Pekerja migran internal (dalam negeri) adalah orang yang bermigrasi dari tempat asalnya untuk bekerja di tempat lain yang masih termasuk dalam wilayah Indonesia. Karena perpindahan penduduk umumnya dari desa ke kota (rural-to-urban migration), maka pekerja migran internal seringkali diidentikan dengan “orang desa yang bekerja di kota.”
Pekerja migran internasional (luar negeri) adalah mereka yang meninggalkan tanah airnya untuk mengisi pekerjaan di negara lain. Di Indonesia, pengertian ini menunjuk pada orang Indonesia yang bekerja di luar negeri atau yang dikenal dengan istilah Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Karena persoalan TKI ini seringkali menyentuh para buruh wanita yang menjadi pekerja kasar di luar negeri, TKI biasanya diidentikan dengan Tenaga Kerja Wanita (TKW atau Nakerwan)
Urbanisasi dan Pekerja Migran Internal
Urbanisasi adalah “proses pengkotaan” atau proses perubahan suatu desa menjadi kota. Secara nasional, urbanisasi bisa dilihat dari proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan dan proporsi orang yang bekerja di sektor non-pertanian. Sebagai contoh, pada tahun 1998, sebesar 31,5 persen penduduk Indonesia tinggal di perkotaan dan sebanyak 49,2 persen bekerja di sektor non-pertanian (Suharto, 2002:149).
Pertumbuhan penduduk yang besar, persebaran penduduk yang tidak merata antar daerah, dan rendahnya daya serap industri di perkotaan, menyebabkan urbanisasi di Indonesia termasuk dalam kategori “urbanisasi tanpa industrialisasi”, “urbanisasi berlebih” atau “inflasi perkotaan” (Potter dan Lloyd-Evans, 1998; Suharto, 2002). Fenomena ini menunjuk pada keadaan dimana pertumbuhan kota berjalan cepat namun tanpa diimbangi dengan kesempatan kerja yang memadai, khususnya di sektor industri dan jasa. Akibatnya, para migran yang berbondong-bondong meninggalkan desanya dan tanpa bekal keahlian yang memadai tidak mampu terserap oleh sektor “modern” perkotaan. Mereka kemudian bekerja di sektor informal perkotaan yang umumnya ditandai oleh produktivitas rendah, upah rendah, kondisi kerja buruk, dan tanpa jaminan sosial.
Sejatinya, persoalan utama pekerja migran internal terkait erat dengan kondisi sektor informal perkotaan yang kerap disebut sebagai “underground economy” itu. Sebagai contoh, mereka yang bekerja sebagai pedagang kakilima kerap menghadapi permasalahan seperti penggusuran, permodalan yang kecil, konflik dengan penduduk setempat, konflik dengan pengguna lahan publik lain (pejalan kaki, sopir angkutan kota, pemilik mobil pribadi, pemilik toko), dan konflik dengan petugas keamanan.
Persoalan lain yang cukup serius mengenai pekerja migran ini adalah menyangkut fenomena “pekerja migran anak-anak” yang meliputi anak jalanan, pekerja anak, dan anak perempuan yang dilacurkan (AYLA). Dalam laporannya, A Country Strategy for Children and Women, 2001-2005, pemerintah Indonesia dan UNICEF memperkirakan jumlah pekerja anak sebesar 1,8 juta jiwa dan AYLA sebanyak 40.000-70.000 anak (Suharto, 20003). Selain bekerja di sektor yang berbahaya, mereka memiliki upah rendah, rawan eksploitasi dan perlakuan salah (abuse), serta tidak memiliki akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan mobilitas sosial vertikal. Mereka kemungkinan besar terjebak dalam “lingkaran kemiskinan” (vicious circle of poverty).
Globalisasi dan Pekerja Migran Internasional
Globalisasi adalah proses menyatunya negara-negara di seantero dunia. Dalam globalisasi, perdagangan barang dan jasa, perpindahan modal, jaringan transportasi, serta pertukaran informasi dan kebudayaan bergerak secara bebas ke seluruh dunia seiring dengan meleburnya batas-batas negara.
Globalisasi ternyata juga mendorong perpindahan tenaga kerja antar negara. Dewasa ini, penduduk dunia bergerak meninggalkan tanah airnya menuju negara lain yang menawarkan pekerjaan dengan upah lebih tinggi. Di wilayah Asia saja pada tahun 1994, tenaga kerja asing (sesama Asia) yang mengisi sektor-sektor ekonomi di wilayah tersebut mencapai jutaan. Jumlah terbanyak datang dari Indonesia (800 ribu), diikuti Filipina (600 ribu), Bangladesh (400 ribu) dan Thailand (sekitar 400 ribu) (Newsweek, 17 Oktober 1994).
Menurut Elwin Tobing (2003), arus migrasi tenaga kerja ini diperkirakan akan terus meningkat setiap tahunnya sejalan dengan melonggarnya hambatan-hambatan resmi migrasi di negara-negara yang tergabung dalam World Trade Organisation (WTO). Melonjaknya arus migrasi ini pada hakekatnya merupakan resultante dari perbedaan tingkat kemakmuran antara negara maju dan berkembang.
Pembangunan ekonomi yang tinggi di negara maju telah mendorong upah dan kondisi lingkungan kerja ke taraf yang lebih tinggi. Percepatan pembangunan ekonomi di negara maju kemudian meningkatkan kebutuhan akan tenaga kerja dalam jumlah tertentu. Secara umum, permintaan akan tenaga kerja terlatih di negara maju dipenuhi dari negara maju lainnya. Sedangkan permintaan akan tenaga kerja tidak terlatih “terpaksa” didatangkan dari negara berkembang. Pekerja dari negara-negara maju sendiri seringkali tidak tertarik dengan pekerjaan yang menurut kategori mereka bergaji rendah.
Sementara itu, kesulitan ekonomi, sempitnya lapangan pekerjaan dan upah rendah di negara berkembang mendorong penduduk untuk mengadu nasib ke negara maju meskipun tanpa bekal (keahlian, persiapan, dokumen) yang memadai. Sebagian besar pekerja migran dari negara berkembang ini umumnya terdorong oleh upah yang relatif lebih tinggi dibanding upah yang diterima di negara asal. Namun, sebagian dari pekerja migran ada yang termotivasi oleh alasan lain, seperti keagamaan (pergi haji, umroh) khususnya di Arab Saudi.
Faktor pendorong dan penarik di atas sebenarnya merupakan hukum ekonomi yang wajar jika prosesnya dilalui berdasarkan kriteria yang dibutuhkan. Persoalan menjadi lain manakala tenaga kerja dari negara pengirim bermigrasi secara ilegal dan/atau tanpa keahlian serta persiapan yang diperlukan. Dalam konteks ini, munculah dua macam migrasi, yaitu yang legal (resmi) dan yang ilegal (gelap). Status gelap inilah yang kemudian menyebabkan pekerja migran sangat rentan mengalami permasalahan sosial-psikologis.
Dalam arus migrasi ini, terdapat fenomena lain yang disebut “feminisme migrasi,” yakni, bahwa migrasi semakin didominasi oleh anak gadis dan perempuan (Heyzer, 2002). Ambruknya sistem ekonomi lokal menyebabkan banyak anak-anak gadis dan perempuan yang diekspos ke tempat-tempat kerja global guna mencari penghidupan. Menurut Heyzer (2002:2), situasi ini akan semakin menjadi-jadi di negara-negara yang mengalami krisis ekonomi parah serta negara-negara yang mengalami konflik dan perpecahan. Dalam konteks Indonesia, feminisme migrasi ini terjadi dalam bentuk pengiriman TKW besar-besaran antara lain ke Hongkong, Arab Saudi, Malaysia dan Singapura.
Di Singapura, pada tahun 2002 terdapat sekira 450 ribu pekerja migran. Dari jumlah tersebut, lebih dari 140 ribu bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Pembantu rumah tangga yang berasal dari Indonesia diperkirakan mencapai 60 ribu orang, selebihnya berasal dari Filipina, India, Sri Lanka dan Burma (ELSAM, 2002).
PEMBANTU RUMAH TANGGA ASAL INDONESIA DI SINGAPURA
Awal Juni 2002, 20 orang yang berasal dari berbagai kota di Indonesia, yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Singapura, melarikan diri dari rumah majikan mereka. Mereka meminta perlindungan ke Kedutaan Besar RI di Singapura karena dianiaya, diperkosa dan mendapat ancaman perkosaan.
Kebanyakan para pekerja migran ini tidak paham hak dan kewajibannya. Kenyataan yang mereka hadapi sangat berbeda dengan gambaran yang mereka peroleh dari PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia) sebelum diberangkatkan ke Singapura. Mereka “… memiliki dua “musuh” yakni majikan dan perusahaan pengerah tenaga kerja.”
Sumber: ELSAM (2002:2)
TKW DI ARAB SAUDI
Para TKW yang bekerja di Arab Saudi, pada umumnya memiliki impian untuk melaksanakan umroh atau haji. Bilamana umroh atau haji tersebut telah tercapai, etos kerja mereka cenderung menurun, bahkan ingin segera pulang dan menunjukkan tanda-tanda kurang betah.
Prosedur seleksi yang dilakukan PJTKI terhadap calon TKW terkesan sangat longgar. Persyaratan seperti usia, daerah asal, surat izin orang tua/suami banyak yang tidak benar. Tingginya permintaan dari Arab Saudi dan kemiskinan yang melilit mereka menjadi penyebab terjadinya kondisi demikian. Kondisi ekonomi calon TKW dijadikan alasan PJTKI bersikap longgar. Petugas PJTK mengaku merasa kasihan dan wajib membantu calon TKW agar segera berangkat dan memperoleh penghasilan layak.
Masalah yang dihadapi TKW seringkali terjadi pada saat pemulangan, yaitu banyaknya kasus pemerasan sejak dari bandara sampai ke tempat asalnya. Banyak pula mantan TKW yang pulang dalam keadaan hamil tanpa “suami” yang jelas. Ada yang gajinya belum dibayar secara penuh. Beberapa TKW juga menerima resiko rumah tangga berantakan, karena suami kawin lagi atau menggunakan uang secara tidak semestinya.
Sumber: Syarif Muhidin, M. Fadhil Nurdin dan Teti Asiati Gunawan (2003:6-7).
TKW DI HONGKONG
Pada saat ini, TKI di Hongkong hanya terdiri dari TKW dan masih belum menerima tenaga kerja laki-laki, karena masih dapat dipenuhi oleh warga negara Hongkong. Di Hongkong, terdapat sekira 72.000 TKW yang berasal dari Jawa Tengah daJawa Timur dan sekira 1.000 TKW asal Jawa Barat.
Terdapat sekitar 70 persen TKW asal Indonesia yang gajinya dibawah upah minimum setempat. Ini terjadi antara lain karena adanya “kerjasama” majikan dan agen TKI.
Sumber: Eddi Sopandi (2003:19-20)
Laporan ELSAM (2002) mencatat bahwa masalah TKW yang menjadi pembantu rumah tangga di Singapura adalah ancaman perkosaan, pelecehan seksual, perkosaan, penganiayaan, gaji tidak dibayar dan ancaman pembunuhan. Tidak jarang, persoalan ini meluas dan menimbulkan konflik bilateral antara negara pengirim dan penerima tenaga kerja. Laporan tersebut juga mencatat bahwa statistik kematian pekerja migran Indonesia yang menjadi pembantu rumah tangga di Singapura meningkat dari tahun ke tahun.
Dalam kurun waktu antara Januari 1999 hingga April 2002, tercatat sebanyak 65 pembantu rumah tangga asal Indonesia yang bekerja di Singapura meninggal karena berbagai sebab. Dari jumlah tersebut, 18 orang diantaranya tewas bunuh diri dengan cara menjatuhkan diri dari lantai apartemen tempat mereka bekerja di Singapura (ELSAM, 2002:1).
Penyebab utama mereka terjatuh atau menjatuhkan diri adalah akibat tekanan jiwa atau stress. Memang, berbeda dengan persoalan pekerja migran internal, TKI seringkali mengalami keterasingan dan kesenjangan budaya. Jaringan sosial yang nyaris tidak ada dan perbedaan budaya yang tajam menyebabkan TKI sangat rentan mengalami tekanan psikologis.
Penanganan
Penanganan terhadap pekerja migran internal dan pekerja migran internasional tentunya harus dibedakan. Namun demikian, pendekatan pekerjaan sosial terhadap masalah keduanya memiliki prinsip yang sama: bahwa penanganan tersebut harus menyentuh akar permasalahan di tempat asal dan gejala permasalahan yang muncul di tempat tujuan.
Penanganan pekerja migran internal selama ini lebih banyak menyentuh aspek hilir ketimbang hulu. Padahal, menyentuh persoalan di hilir saja seperti halnya kegiatan “menyapu sampah di halaman rumah”. Sedangkan, membersihkan penyebab yang mengotori halaman tersebut tidak tersentuh. Dengan demikian, penanganan persoalan pekerja migran internal perlu dilakukan secara terpadu, baik di wilayah hulu (pedesaan) maupun hilir (perkotaan). Ekoturisme, pengembangan agroindustri, dan penciptaan lapangan kerja di pedesaan, antara lain, dapat memperbaiki kemakmuran desa yang pada gilirannya membantu membatasi laju migrasi desa-kota yang terlalu berlebih. Di perkotaan, pemberian pelatihan bagi peningkatan produktivitas ekonomi kecil, bantuan permodalan, dan pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan kiranya masih tetap diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kapasitas pekerja migran ini.
Sejalan dengan desentralisasi, persoalan pekerja migran internal sebenarnya merupakan tantangan PEMDA, baik di daerah asal maupun daerah penerima. PEMDA sudah seharusnya menghadapi persoalan ini dengan peningkatan ekonomi regional dan pengembangan kualitas sumberdaya manusia.
Sementara itu, permasalahan yang timbul dari pekerja migran internasional antara lain disebabkan oleh belum maksimalnya perlindungan buruh, terutama yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Kedutaan Besar Indonesia di Singapura, misalnya, hanya memberi penyuluhan soal sistem kerja agar lebih memahami bagaimana cara kerja yang diinginkan majikan. Karenanya, kampanye bagaimana seharusnya para majikan di Singapura memperlakukan TKI perlu dilakukan (ELSAM, 2002:3).
Selama ini, kedutaan besar Indonesia di negara-negara lain belum memiliki atase sosial. Oleh karena itu, penempatan atase sosial, terutama di negara-negara yang banyak menerima TKI, perlu dipertimbangkan. Atase sosial ini harus memiliki keahlian yang lengkap mengenai konseling, advokasi, pendampingan sosial, dan teknik-teknik resolusi konflik.
Di dalam negeri, pembekalan terhadap TKI tidak hanya menyangkut “cara-cara bekerja dengan baik” di negara tujuan. Namun, sebaiknya menyangkut pula coping strategies dalam menghadapi persoalan yang mungkin timbul di negara tujuan. Pelatihan mengenai strategi penanganan masalah ini bisa menyangkut pengetahuan mengenai karakteristik politik dan sosial-budaya negara tujuan, serta cara-cara menghadapi burn-out (kebosanan kerja), stress, kesepian, maupun pengetahuan mengenai fungsi dan tugas kedutaan besar.
Akhirnya, penyeleksian dan pengawasan terhadap PJTKI juga perlu dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan melalui kerjasama antara Dinas Tenaga Kerja dan Dinas Sosial. Pengawasan ini bisa dilakukan dengan melibatkan pekerja sosial yang dapat memahami permasalahan, pelatihan dan penanganan permasalahan sosial psikologis pekerja migran internasional. Para pekerja sosial dapat memberikan pendampingan sosial, pembelaan, bimbingan sosial terhadap calon TKI sebelum dan sesudah kembali dari luar negeri. Selain itu, pelayanan sosial semacam “perawatan rumah” (homecare) terhadap keluarga TKI di Indonesia juga perlu dilakukan mengingat banyaknya kasus kerumahtanggan yang ditimbulkan akibat “perginya” salah satu anggota keluarga penting di rumah yang ditinggalkan pekerja migran.
Referensi
ELSAM (2002), Statistik Kematian Buruh Migran di Singapura, Newsletter edisi Mei-Juni Heyzer, Noeleen (2002), “Trafficking, Migrasi, dan Globalisasi,” dalam Radio Nederland Wereldomroep, edisi 6 Desember. Muhidin, Syarif, M. Fadhil Nurdin dan Teti Asiati Gunawan (2003), “Kajian Masalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Asal Jawa Barat di Saudi Arabia dan Hongkong Sebagai Bahan Penyusunan PERDA” dalam Sosiohumaniora, Vol.V, No.1 Newsweek (1994), 17 Oktober Potter, Robert B. dan Sally Lloyd-Evans (1998), The City in the Developing World, Harlow: Longman Soppandi, Eddi (2003), “Selayang Pandang Profil Tenaga Kerja Indonesia di Hongkong,” dalam Sosiohumaniora, Vol.V, No.1 Suharto, Edi (2002), Profiles and Dynamics of the Urban Informal Sector in Indonesia: A Study of Pedagang Kakilima in Bandung, Ph.D dissertation, Palmerston North: Massey University ----------, (2003), Pendekatan Pekerjaan Sosial dalam Mengatasi Masalah Anak, makalah yang disampaikan pada “Seminar Internasional Penanggulangan Masalah Anak: Kebijakan, Program dan Strategi”, Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Langlangbuana dan LSM Internasional Credible, Bandung 5 Juli 2003.
|